Ingat Mati, Ingat Illahi

Dhedi R Ghazali | Tuesday, June 23, 2015 | 0 komentar
Hari ini adalah hari ke-lima di lebaran tahun 2012. Seperti biasa, saat seperti ini adalah saat yang tepat berkunjung ke sanak saudara. Saling mengunjungi untuk bersilaturahmi menjadi sebuah keharusan yang tak bisa dilepaskan.
 
Malam itu, aku dan keluarga besar sedang berkumpul di rumah. Sebuah suasana yang mungkin hanya setahun sekali terjadi. Maklum, beberapa sanak saudara berada di luar kota. Susana kebersamaan begitu kental terasa, hingga tak terasa waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa sudah larut malam.

“Za, besuk ikut ke Temanggung, ya. Silaturahmi ke rumah bulikmu.”

“Iya, paklik. Insyaallah.”

Pagi tiba, azan subuh menggema membangunkan tidurku. Pukul lima pagi, aku dan paklik beserta istrinya bersiap-siap untuk berangkat ke Temanggung. Dengan menggunakan mobil, kami melakukan perjalanan menuju rumah keluarga bulik. Perjalanan yang begitu melelahkan, terlebih lagi beberapa hari ini tenagaku habis untuk berkeliling ke tempat saudara selain itu juga semalam aku tidur terlalu larut malam sebab bercengkerama dengan sanak saudara. Akhirnya, setelah dua jam perjalanan, kami tiba di rumah bulik. Saling bercengkerama dan bercanda membuat kelelahan saat perjalanan perlahan sirna.

***

Matahari mulai condong ke barat. Tak terasa maghrib tiba. Setelah melakukan salat maghrib, kami berpamitan untuk kembali ke Jogja. Tubuh ini begitu lemas, terlebih lagi sedari pagi perut hanya mampu menampung sedikit nasi. Di perjalanan pulang, kepala ini benar-benar terasa pusing. Mukaku mulai pucat, keringat dingin mengalir deras.

“Kamu kenapa, Za? Mukamu pucat.” Tanya bulik kepadaku.

“Kepalaku pusing, Bulik.”

Badan bergetar hebat, rasanya kepala ingin pecah saja. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit. Beberapa menit kemudian, pandanganku mulai kabur, semua remang-remang dan semakin tak terlihat. Gelap! Semua begitu gelap! Aku tak sadarkan diri. Hanya keheningan yang terasa. Tubuhku tak bisa digerakkan.

***

Perlahan kubuka mata. Tubuh rasanya tak berdaya. aku begitu bingung, apa yang sedang terjadi? Di hidung telah menempel selang oksigen, selang infus juga sudah rapi melekat di tangan. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang kuingat hanyalah saat di dalam mobil dan tiba-tiba semua menjadi gelap

“Kamu sudah sadar, Nak?”

“Aku ada di mana, Bu?”

“Kamu di rumah sakit. Tadi kamu pingsan di mobil.”

Beberapa bagian tubuh mati rasa, bahkan tangan kananku tak bisa kugerakkan sama sekali. Ini pertama kalinya kurasakan sakit yang begitu hebat di sekujur tubuh. Tak selang lama, dokter menghampiri dan mengecek keadaanku.

“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Ayah yang duduk di samping Ibu.

“Baik-baik saja, Pak. Mungkin karena kelelahan. Tadi sudah diambil sampel darahnya, kita tunggu hasil uji laboratoriumnya dulu, baru bisa tahu apa yang menyebabkan anak Bapak pingsan.”

***

Hari berganti. Saat menjelang maghrib, sekitar pukul lima sore, banyak sanak saudara dan tetangga yang berdatangan untuk menjengukku. Rasanya hatiku begitu terenyuh, ternyata masih banya yang perduli padaku. Beberapa teman kuliah dan teman-teman organisasi di desa juga datang. Kedatangan mereka membuatku terharu.

Azan maghrib terdengar. Saat itu juga, tiba-tiba kepalaku seperti ingin pecah. Perutku mual dan ingin muntah tapi tak ada yang dimuntahkan. Rasanya mata ini kembali berkunag-kunang. Napasku mulai tak teratur. Dada  ini tiba-tiba begitu sesak, tubuh pun mulai kejang-kejang. Sakit yang begitu hebat kurasakan di sekujur tubuh.Kupegang erat tangan ibu yang menghampiriku. Aku pun kembali tak sadarkan diri. Hanya tangisan dan jerit yang terdengar tanpa mampu melihat apa yang sedang terjadi. Gaduh! Jerit, tangis dan kepanikan begitu terasa meskipun mata tak mampu melihat apa-apa. Kudengar ibu dan ayah menangis, memanggil-manggil namaku berulang kali.

“Istighfar, Nak.”

Tiba-tiba semua terasa hening. Suasana ini …, membawaku ke dalam ketenangan yang belum pernah kurasakan. Samar-samar terlihat sosok yang tak kukenal dan tak pernah bisa kuingat. Yang masih melekat hanyalah pegangan tangannya yang begitu menyejukkan.

“Apakah aku sudah mati? Ya, Allah, aku masih belum ingin mati. Masih banyak bekal yang harus kukumpulkan untuk mendapatkan surgaMu”

Entah apa yang terjadi, badan tak bisa kugerakkan, mata pun tak bisa dibuka. Begitu tenang! Meskipun begitu, hati dan pikiran masih bisa merasakan ketakutan yang bercampur dengan penyesalan. Penyesalan atas apa yang telah kulakukan selama ini. Suasana ini seolah menyeretku ke dalam ruang perenungan yang begitu dalam. Aku takut! Takut karena merasa masih belum cukup bekal untuk menemui kematian.

Tiba-tiba kurasakan tetesan air di tanganku. Ya, air mata dari ayah dan ibu yang selama ini tak jarang kumarahi juga kusanggah perintahnya.

Samar-samar kudengar ayahku menangis, “Ya Allah, jangan Kau ambil anakku secepat ini.”

Tangis ini rasanya ingin pecah. Aku masih ingin hidup! Badan ini rasanya ingin bergerak dan segera memeluk ayah.

Beberapa saat kemudian, mataku mulai bisa terbuka secara perlahan. Sedikit demi sedikit mulai terlihat sanak saudara yang sudah mengerumuniku dengan mata mereka yang berlinang air mata. Secepat kilat, ayah langsung memeluk dan menciumi wajahku. Tak henti-hentinya kalimat syukur terlontar. Pelukannya begitu terasa nyaman.

“Alhamdulillah, terima kasih Ya, Allah. Engkau telah mendengar doa-doaku.”

Suasana yang tadinya hening berubah menjadi haru. Air mataku berlinang, membasahi pipi. Mulut tak mampu berkata apa-apa, hanya bisa merasakan hangatnya pelukan ayah. Memang selama ini ayahlah yang paling dekat denganku. Meskipun dia mendidikku dengan keras, namun justru itulah yang membuat kami begitu dekat.

***

Peristiwa ini menjadi peristiwa yang tak akan pernah terlupakan. Allah menegurku dengan keras! Seolah Dia ingin mengatakan bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja. Tidak ada patokan umur menyoal kematian, daun muda pun bisa gugur di terpa angin. Semua semakin terasa begitu aneh, karena saat itu dokter tak menemukan penyakit yang parah di tubuhku. Hasil uji laboratorium tidak menemukan keganjilan sedikitpun, semua normal!

Rasa syukur tak henti-hentinya kupanjatkan. Pikiranku melayang-layang di atas langit muhasabah yang cerah. Dalam hati, aku berjanji akan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Selain itu, membahagikan orang tua dan berbakti kepada mereka adalah sebuah keharusan yang tak boleh dilupakan. Terkadang, kita akan merasakan betapa besar kasih sayang orang tua pada saat yang tak pernah kita kira sebelumnya.
 
Semenjak kejadian itu, bayang-bayang kematian sering muncul saat aku sendirian. Saat bayang-bayang kematian itu datang, saat itu pulalah ketakutan menyelimuti. Bukan takut akan kematian, tapi lebih takut dengan apa yang akan kutemui setelah kematian. Semua mahluk hidup pastilah akan mati. Dan kematian bukanlah akhir, tapi sebuah awal dari kehidupan yang abadi. Dengan mengingat kematian, kita akan senantiasa mengingat kebesaran Allah dan mengingat apa yang seharusnya dilakukan di dunia ini. Kita hendaknya berhati-hati dalam menjalani hidup! Selain itu, peristiwa ini membuatku semakin sadar, ternyata sekeras apapun orang tua, mereka tetap menyayangi kita dengan sepenuh hati. Sebagai seorang manusia, kita harus senantiasa bermuhasabah atas apa yang kita lakukan di dunia ini. Meskipun umur tidak bisa dihitung, dan kematian tak bisa diterka kapan datangnya, tidak ada salahnya jika kita senantiasa merenung dan mengukur waktu kita yang setiap hari semakin berkurang. Ya, mengingat mati adalah hal yang akan mengingatkan kita kepada Illahi. Ingatlah! Semua mahluk yang hidup pasti akan menemui kematian dan setelah kematian akan datang kehidupan yang kekal.




GubukAksara, 2015


Kehidupan Tanpa Batas

Malam Tanpa Rembulan

Dhedi R Ghazali | Friday, June 19, 2015 | 0 komentar
malam tanpa rembulan

Hampir setengah tahun terakhir penulis disibukkan dengan kegiatan di dunia nyatanya. Selama itu pula, blog ini tidak terjamah sama sekali sehingga tak ada update artikel ataupun puisi. Akhirnya, detik ini penulis mampu kembali membagikan hasil karyanya. Kali ini, saya akan berbagi sebuah puisi yang saya buat saat berada dalam perjalanan menuju kota Yogyakarta. Di tengah perjalanan, banyak terlihat anak muda yang sedang bercengkerama di pinggir jalan, pedagang asongan. pengamen dan banyak lagi yang lain. Terkadang dari situ saya berpikir, ternyata malam benarlah sebuah waktu yang menyembunyikan banyak pertanyaan. Entah kenapa, terkadang hati dan pikiran ini merasa bahwa banyak orang yang lebih suka dengan gemerlap malam padahal hakikatnya malam adalah waktu untuk beristirahat.

Langsung saja, ini adalah puisi yang berjudul "Malam Tanpa Rembulan"

Malam Tanpa Rembulan

malam ini, langit nestapa
gelayut awan kelam
dihiasi sekumpulan gagak hitam...
berputar-putar di atas tumpukan bangkai busuk

selokan becek berbau anyir darah dan nanah
bau pesing kencing gelandangan
mayat-mayat hidup lalu-lalang di sudut-sudut kota

semua menjadi gelap
ketika angin meniup mati lentera-lentera
dan rembulan pucat pasi bersembunyi
tak ingin menjadi saksi atas apa yang terjadi

malam bersumpah
demi setan yang berwajah manusia
demi rembulan yang ketakutan
demi gemintang yang enggan berkedip
sudahilah!!!
berapa banyak lagi bangkai yang diperlukan
agar tumpukannya mencapai langit yang tujuh?

sang raja menari di atas aurora di langit istananya
menyayikan lagu puji-pujian---entah untuk siapa
bersama selir-selir yang telanjang
sesekali bersulang keringat
yang diperas dari budak-budaknya

malam tanpa rembulan
mematikan telinga!
mematikan mata!
mematikan jiwa!

badut-badut di tepian jalan
menarik perhatian lelaki-lelaki perantau
yang baru saja pulang berlayar mengarungi pulau-pulau
bocah-bocah pemuja aspal
dimabuk aroma lem di genggaman
sebagian riang berdendang
dengan gitar tua di tangan
mereka berkata
"Tuhan, jangan Kau hadirkan siang, biarkan malam tanpa rembulan tak berkesudahan!"

GubukAksara, 2015
Kehidupan Tanpa Batas
 
Support : Copyright © Nov 2010. Kehidupan Tanpa Batas - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger