Tentang Novel "Rembulan Tenggelam di Wajahmu"

Dhedi R Ghazali | Saturday, September 05, 2015 | 0 komentar


Rembulan Tenggelam di Wajahmu

Mungkin bagi para penikmat novel khususnya ciptaan Tere Liye, judul di atas tidaklah asing lagi. "Rembulan Tenggelam di Wajahmu" adalah salah satu judul novel ciptaan penulis muda satu ini.
Novel tersebut bagi saya adalah salah satu novel yang memberikan efek "boombastis". Kenapa dan bagaimana bisa? Banyak hal yang saya dapatkan dari novel ini, selain gaya bahasa yang menarik bahkan boleh dibilang puitis, novel ini juga menawarkan ruang renung yang luar biasa bagi pembacanya.

Awal mula saya membaca novel ini adalah berawal dari ketidaksengajaan yang mungkin saja ketidaksengajaan itu erat hubungannya dengan isi yang disampaikan dalam novel buatan Tere Liye tersebut. 

Pada suatu ketika, jiwa dan batin saya sedang dalam keadaan yang kacau balau. Permasalahan bermunculan menghampiri tanpa jeda hingga membuat manusia bodoh ini acapkali menyalahkan keadaan yang sedang terjadi. Singkatnya, untuk menghilangkan penat itu saya putuskan berjalan-jalan di salah satu toko buku di Yogyakarta. Sebenarnya maksud awal datang ke toko itu bukanlah untuk membeli buku, hanya sekadar ingin berjalan-jalan saja. Di salah satu rak buku dimana kumpulan novel Tere Liye dipajang, mata ini langsung tertuju pada buku dengan sampul berwarna merah menyala yang berjudul "Rembulan Tenggelam di Wajahmu". Terlanjur tertarik, akhirnya saya lihat sampul bagian belakang dan membaca sinopsis yang ada. Entah kenapa, tiba-tiba saja ada terdengar bisikan mengatakan "Belilah dan bacalah! Kau akan menyukainya". Memang selama ini salah satu hobi saya adalah membaca novel, jadi tanpa pikir panjang akhirnya saya putuskan untuk membeli novel tersebut.

Sesampainya di rumah, novel itu tidak langsung saya baca. Malam hari sekitar pukul 11 malam, karena belum bisa tidur sebab kepenatan yang masih saja menghantui akhirnya saya membacanya. Satu lembar, dua lembar, terlihat isi novel biasa-biasa saja. Anehnya, hati ini seolah memaksa untuk tetap melanjutkan membaca. Lembar demi lembar terbuka, setiap lembar menyuguhkan rangkaian kata dan cerita yang begitu menarik. Ya, begitu menarik karena apa yang diceritakan ternyata tidak jauh beda dengan apa yang sedang saya rasakan. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang ada di otak manusia selama menjalani kehidupan. Pertanyaan tentang hidup dan kehidupan itu sendiri, tentang keadilan dan kekuasaan Tuhan serta tentang sebuah kesempatan. Dengan waktu 2 jam novel ini selesai saya baca.

Setelah selesai membacanya, batin mulai bergejolak. Mungkin saja ini adalah cara Tuhan untuk menjawab pertanyaan yang ada di benak selama ini. Jawaban dari Tuhan yang akhirnya saya temukan lewat perantara novel berjudul "Rembulan Tenggelam di Wajahmu". Ya, seperti halnya Rey(tokoh utama dalam novel) yang diberi kesempatan untuk bertanya 5 pertanyaan dan diberikan 5 jawaban, setidaknya seperti itulah yang sedang terjadi pada saya sewaktu membaca novel ini.

Lalu apa yang istimewa? Dari cerita di atas, ada hal yang sangat bermakna yang saya dapatkan. Ternyata memang Tuhan mempunyai banyak cara yang tak terduga untuk menjawab keluh kesah umatnya. Itulah yang penting. Selama ini kita acapkali menyalahkan keadaan yang berujung kepada pikiran bahwa Tuhan tidak adil. Dimanakah Tuhan saat kita dalam kesulitan? Saat batin dan jiwa dilanda kepenatan, atau saat permasalahan demi permasalah menghampiri hidup? Seharusnya pertanyaan itu tidak layak untuk muncul di benak manusia, sebab satu hal yang pasti bahwa Tuhan tidak akan pernah mendzalimi umatnya. Seharusnya manusialah yang dituntut untuk "peka" terhadap keadilan dan kasih sayang Sang Pencipta. Rembulan yang tenggelam di wajah manusia bukanlah karena-Nya, namun karena perbuatan manusia itu sendiri. Tak seharusnya rembulan itu tenggelam di wajah jika saja kita mampu menikmati betapa indahnya rembulan itu dengan mata kita, bukan justru dengan menundukkan wajah. Ingatlah bahwa apa yang terjadi memanglah sudah digariskan oleh-Nya, tapi semua akan tetap berdasar hukum sebab-akibat. Sesuatu yang terjadi bukanlah tanpa sebab dan setiap sebab pastilah akan menimbulkan akibat, dan yang perlu kita tahu adalah bahwa akibat tidak selalu negatif, tinggal bagaimana kita menyikapinya.


Gubuk, 2015
Kehidupan Tanpa Batas

Kumpulan Puisi Inspiratif

Dhedi R Ghazali | Friday, September 04, 2015 | 0 komentar
Daun Mana yang Akan Jatuh?

Kita tak pernah tahu berapa jatah umur kita sehingga tak akan pernah mampu menghitung sisa umur yang ada. Lebih celakanya, seringkali kita angkuh berkata, "Ah, kita masih muda, umur masih panjang." Kalimat tersebut keluar begitu saja tanpa disadari bahwa bisa jadi esok hari menjadi hari terakhir di dunia ini.

Ingatlah, manusia tak pernah tahu kapan dan di mana maut akan menjemput. Tak perduli berapa umurnya sekarang, bukankah daun muda bisa sewaktu-waktu lepas dari tangkainya?

Mari kita sejenak bercermin kepada perjalanan hidup Alm. Ustad Jefri. Banyak yang sudah tahu sebelum menjadi ustadz, Beliau pernah berada di lubang hitam yang gelap. Hingga pada akhirnya, kemauan untuk berhijrah membuahkan hasil. Akan tetapi, tak lama kemudian akhirnya Beliau harus mengakhiri perjalanan hidup di dunia untuk selamanya. Pertanyaannya, bagaimana jika Alm. tidak berkemauan dan berikhtiar untuk berhijrah saat itu? Bagaimana jika dia meninggal saat masih dalam lubang hitam? Semua bukan semata karena hidayah, tapi lebih dari itu, kemauan, niat dan usaha untuk berubah menjadi lebih baik adalah awal mulanya.

Tidakkah kita merugi jika waktu yang masih ada, justru terbuang sia-sia? Menunggu waktu tua tiba untuk menebusnya, padahal tidak pernah ada jaminan kalau hidup kita kelak bisa sampai pada usia renta.

Gubuk, 2015

 //

Kau dan Angin

tibamu
bagai kabar burung yang dikirimkan angin
di tengah padang ilalang
disaat kemarau berkepanjangan

kau
menyatu dalam tubuh angin
menari-nari di gurun
hanya debu di pelupuk mata
sebagai pertanda kau tiba

Gubuk, 2015

//

Tanah, Kemarau dan Hujan

aku adalah tanah
dan kemarau itu
datang tak tepat waktu
begitu juga hujan yang turun
menghukum tanpa ampun

aku adalah tanah
kau adalah kemarau
kau adalah hujan
dan dimanakah Tuhan?

GubukAksara, 2015
Kehidupan Tanpa Batas

Surga yang Hilang

Dhedi R Ghazali | Wednesday, August 26, 2015 | 0 komentar




Di balik jendela aku menatap hujan yang tak kunjung reda. Meratap, bersama sebelah sayap yang patah yang sejatinya ingin kugunakan untuk terbang menuju surga-Nya. Tepat di depan jendela dari tempatku duduk, terbentang jalan utama kota ini. Nuansa malam yang begitu indah, lampu kendaraan yang berkilauan sebab jatuhnya jutaan rintik air yang menerpanya. Malam ini, setahun sudah surgaku menghilang dan tak akan kembali pulang. Surga yang selama ini kusiakan dan bahkan tak kusadari keberadaanya yang begitu dekat.


//
Jauh sudah langkah kaki
Berjalan menelusuri laut, hutan, dan gurun
Hingga yang di pelupuk mata menghilang
Sesal kemudian mencari jalan pulang
Terlambat!!!
Terlambat sudah
Tanah kini telah membawanya kembali ke muasal
Menuju tempat
Yang berada di bawah telapak kakinya
//

Aku adalah termasuk salah satu pengusaha muda yang sukses. Menjadi manajer sebuah perusahaan asing di umur yang baru menginjak angka duapuluh tujuh tahun tentunya sudah mampu menjadi tolok ukur kesuksesannku. Sebagai seorang muslim, tentu limpahan rizki dari-Nya membuatku lebih mudah untuk melaksanakan kewajiban bersedekah. Setiap bulan kusisihkan lima persen penghasilan untuk kemaslahatan umat. Bersedekah adalah sebuah keharusan, karena bagiku itu adalah salah satu cara yang tepat untuk mensyukuri nikmat yang kudapatkan sekaligus untuk ‘membeli’ surga-Nya. Dua kali sudah ibadah haji kulaksanakan, dengan pekerjaan dan penghasilan yang sekarang ini, bahkan untuk berhaji setiap satu tahun sekalipun bukanlah hal yang mustahil.

Saat ini aku tinggal di kota Jakarta. Sebuah kota yang penuh dengan kemegahan sekaligus juga penuh godaan. Di kota inilah semua cerita bermula. Tepat lima tahun yang lalu, berbekal dengan ijazah S1, kucoba mengadu nasib di kota metropolitan ini. Awalnya ibuku tak mengizinkannya, sebab ayahku telah meninggal sejak aku masih kecil. Jika aku pergi merantau ke Jakarta, maka ibu hanya tinggal dengan dua adikku yang masih duduk di bangku SMA. Tapi, tekadku sudahlah bulat, aku ingin menjadi orang yang sukses dan mengangkat derajat ibu dan adik-adikku. Ternyata Allah mendengar segala doa yang kupanjatkan setiap sepertiga malam selepas salat tahajud. Di kota inilah rizki yang telah dpersiapkan-Nya diturunkan. Tidak butuh waktu lama, hanya dalam jangka 3 tahun aku sudah mampu menjadi manajer di sebuah perusahaan asing ternama. 

Setiap bulan, aku rutin mengirimkan uang ke kampung halaman untuk kebutuhan ibu dan kedua adikku. Kesibukan bekerja membuatku tidak bisa pulang ke kampung halaman selama lima tahun terakhir. Hanya lewat telepon aku bisa berkomunikasi dan bertukar kabar dengan ibuku. 

****

Malam itu, aku sedang ada ‘meeting’ dengan salah satu ‘klien’. Sebuah tander yang besar sedang coba kuraih. Jika bisa kumenangkan tander ini, bonus ratusan juta bahkan miliaran rupiah bisa didapatkan. Di tengah-tengah ‘meeting’, telepon genggamku berdering. Kulihat ternyata ada pesan masuk dari ibu.

“Nak, jangan lupa salat!”

Setelah kubaca, kembali kuletakkan telepon genggamku di meja tanpa kubalas pesan ibu. Aku tak ingin ‘klienku’ terganggu sebab kutinggal untuk membalas pesan dari ibu. 

Tak lama kemudian, kembali telepon genggamku berdering. Kali ini sebuah panggilan masuk. Kulihat layar telepon genggam, ternyata ibu yang menghubungi. Kutolak panggilan itu. Tak selang beberapa lama kemudian, lagi-lagi telepon gengamku berdering, dan masih juga panggilan dari ibu. Kulihat ‘klienku’ mulai tidak nyaman dengan panggilan tersebut. Benar saja, beberapa saat kemudian, ‘klien’ tersebut mengingatkan, “Maaf, Pak, ini tander besar, bukan main-main. Saya harap Bapak mematikan telepon gengamnya dulu agar ‘meeting’ ini bisa berjalan dengan lancar!” 

“Iya, Pak. Maaf atas ketidaknyamanan ini.”

Langsung saja kumatikan telepon genggamku. Pikiran dan hati mulai bergejolak, rasa kesal menyelimuti. Kesal terhadap ibu sendiri yang menggangu pekerjaanku hari ini.
‘Meeting’ akhirnya telah selesai. Sebuah keputusan pahit harus diterima, ternyata aku tak bisa memenangkan tander. Kekecewaan yang sangat besar kurasakan. 

“Ini gara-gara Ibu!!!”

Hatiku kian berkecamuk. Dengan langkah yang malas kutinggalkan tempat ‘meeting’. Selepas keluar dari tempat meeting tersebut, kuambil telepon genggamku lalu kunyalakan. Lekas kuhubungi ibu, “Assalamualikum, Nak”

“Waalaikumsalam, tadi kenapa Ibu menghubungi?”

“Ibu kangen, Nak!”

“Tahu tidak!!! Gara-gara Ibu menghubungi tadi, semua pekerjaanku jadi kacau balau. Lain kali jangan menghubungi lagi kalau aku tidak menghubungi Ibu terlebih dahulu!” Bentakku dengan nada yang keras sekligus langsung kututup telepon.

Kekesalan masih menyelimuti pikiran. Setelah peristiwa itu, Ibu tak pernah menghubungi lagi. Sesekali rasa bersalah menghinggapi sebab aku telah membentak ibu kandungku sendiri. Tapi saat itu, memang dia yang salah sehingga aku tak bisa memenangkan tander miliaran rupiah. Jika saja bisa memenangkan tander tersebut, aku bisa mewujudkan salah satu cita-cita yaitu mendirikan Yayasan Yatim Piatu. Dengan begitu, aku akan mampu menambah amalan dan bekal untuk meraih surga-Nya. Sebagai seorang muslim, tentu menambah amalan dan bekal untuk menuju akhirat adalah menjadi prioritas utama dalam menjalani kehidupan ini.

***

Sebulan sudah berlalu sejak peristiwa itu. Aku masih saja menyesal karena tidak bisa memenangkan tander. Di sepertiga malam, kulaksanakan salat tahajud dilanjutkan dengan memohon kepada-Nya agar diberi kesempatan lagi untuk bisa mendapatkan tander yang serupa. Selama ini aku rutin melaksanakan saat tahajud dan salat duha. Sebuah ibadah yang sejak masih sekolah selalu kulakukan.
Pagi ini aku bersiap untuk menuju kantor. Pikiran terasa tidak fokus, entah apa yang membutanya terasa melayang, yang jelas aku benar-benar merasa hampa.
Tiba-tiba saja telepon genggamku berdering. Ternyata panggilan masuk dari adik pertamaku bernama Zahra.
“Assalamualikum, Mas.”
“Waaliakumsallam, ada apa, Ra? Tumben pagi-pagi gini hubungi, Mas?”
“Ibu sakit, Mas. Dia minta kamu buat pulang ke kampung!”
“Aku sedang sibuk, Ra. Bawa aja ibu ke rumah sakit. Nanti Mas kirimkan uang untuk biayanya.”
“Tapi, Mas ….”
“Sudah, tak perlu tapi tapi. Mas mau berangkat kerja dulu. Assalamualikum!”
Aku bergegas menuju kantor, hari ini adalah hari Jum’at. Seperti biasanya, di hari seperti ini sebelum kegiatan kantor dimulai, semua karyawan berkumpul untuk mengikuti pengajian. Hal ini tentu sangat penting demi menjaga akhlak sekaligus kejujuran serta sebagai motivasi kepada para karyawan agar dapat bekerja dengan ikhlas dan jujur.
Sesampainya di kantor, terlihat sudah banyak karyawan yang berkumpul. Pengajian pun sudah akan dimulai. Ada yang berbeda dari pengajian hari ini, terlihat laki-laki setengah baya menggendong seorang nenek-nenek. Dia berjalan menuju ke dalam Masjid. Ternyata dia adalah Ustadz yang akan mengisi pengajian hari ini. Lalu siapa nenek-nenek yang digendongnya itu? Kenapa untuk mengisi pengajian dia repot-repot menggendong seorang nenek-nenek? Ah, sudahlah. Lebih baik aku masuk ke dalam saja, siapa tahu nanti Ustadz tersebut mengenalkan diri sekaligus mengenalkan siapa nenek-nenek di gendongannya itu.
Pengajian pun dimulai. Ustadz tersebut mulai ceramahnya. Betapa kagetnya seisi ruangan ketika Beliau memperkenalkan siapa yang bersamanya dan digendong olehnya tadi. Ternyata nenek-nenek itu adalah ibu kandungnya.
“Ini adalah ibu saya. Setiap mengisi pengajian di manapun, saya selalu membawa serta Beliau. Sudah tiga tahun terakhir Beliau menderita stroke, sebab itulah saya harus menggendongnya.”
Semua karyawan di dalam Masjid terdiam dan hanyut dalam nuansa yang entah. Termasuk aku, entah kenapa tiba-tiba saja hati ini berkecamuk dan bergetar begitu kencangnya.
Ustadz tersebut mulai menuju materi yang ingin disampaikannya. Sebuah materi yang penuh dengan makna. Sebuah materi yang menyadarkan bahwa aku telah membuat kesalahan yang sangat fatal.

//

Akar yang Tak Pernah Menyalahkan Tanah Gersang

Akar adalah sebuah komponen penting dalam tumbuhan. Dialah yang senantiasa mencari makan agar tumbuhan tersebut dapat subur dan menghasilkan buah-buah yang bagus. Meskipun di kemarau panjang sekalipun, dan tanah-tanah mulai gersang, akar tidak akan berhenti berusaha untuk mencari makan agar pohon berbuah. Dia tidak pernah menyalahkan kemarau, pun juga tidak pernah berkeluh-kesah dan menyudutkan tanah yang gersang. Baginya, mau musim hujan, musim kemarau, tanah subur ataupun tanah gersang, dia akan harus senantiasa menjadi penopang agar buah-buah dapat tumbuh di pohon.

Akar itu adalah Ibu kita, buah di pohon adalah kita dan tanah gersang adalah kerasnya kehidupan. Sekeras apapun kehidupan, seorang Ibu akan senatiasa berusaha sekuat tenaga untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang sukses! Sukses dunia akhirat tentunya. Yang perlu kita ketahui, meskipun akar tak pernah terlihat tapi dia tetap akan selalu memberikan yang terbaik agar pohon-pohon berbuah. Itulah keikhlasan seorang Ibu, dia tak akan menampakkan apa yang telah dilakukan untuk anaknya dan tak akan mengharap imbalan. Dari kecil sampai kita dewasa, Ibulah yang berperan penting dalam kesuksesan yang kita raih saat ini.
Bahkan kita sering mendengar, bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Itulah sebabnya, kenapa saya selalu membawa serta Ibu saya dalam setiap mengisi pengajian. Saya tidak ingin sedetik waktupun jauh dari surga. Meskipun harus dengan menggendong Beliau, tapi ituah bentuk kasih sayang dan rasa hormat sekaligus cara saya untuk meraih surga yang sejatinya selalu ada di dekat kita. 

Saat ini,banyak anak yang acapkali melupakan Ibunya. Dengan kesuksesan yang didapat, seolah semua dapat dimiliki. Sedekah, salat, bahkan baca Al-Qur’an rutin demi untuk meraih surga, tapi mereka lupa bahwa ada surga di dekatnya!!! Bahwa ada surga yang selama ini senantiasa menunggu untuk dijamah, surga itu adalah Ibu kita!!!

//

Tiba-tiba saja bulir-bulir di mata mulai berjatuhan. Diri ini mendapat tamparan yang sangat keras dari apa yang disampaikan oleh Ustadz tersebut. Aku teringat saat membentak Ibu di dalam telepon, saat kusalahkan Ibu karena menelponku waktu ‘meeting’. Memang benar aku tak pernah lupa mengirim uang untuk Beliau, tapi tak pernah sekalipun aku berkunjung untuk sekadar meminta maaf di Hari Raya ataupun untuk sekadar mencium tangan yang selama ini menggendong dan membelai tubuh mungilku dulu. Aku benar-benar larut dalam renungan yang dalam. Air mata tak hentinya membasahi pipi. Tekadku kini sudah bulat, setelah pengajian ini aku akan mengajukan cuti untuk kembali ke kampung halaman, untuk bersimpuh di hadapan surga yang selama ini kuabaikan. 

Sore itu, selepas pulang kerja, aku bergegas pulang ke kampung halaman. Di sepanjang jalan, air mata ini masih saja mengalir tiada henti teringat akan kedurhakaan yang telah diperbuat. Aku merasa menjadi orang yang paling hina, segala ibadah yang kulakukan, naik haji, sedekah, salat tahajud, salat duha dan juga ibadah wajib terasa sia-sia dan percuma sebab aku telah mendurhakai ibuku seniri. Aku sibuk mencari jalan untuk menuju surga, sedangkan surga itu selama ini ada di depan pelupuk mata. Begitu larutnya dalam penyesalan, sampai-sampai tak sadar bahwa berkali-kali telepon genggamku berdering. Kuambil teepon genggam, terlihat sepuluh kali panggilan tak terjawab dari adikku. Lalu kuletakkan kembali telepon genggam tersebut, karena rasanya tak perlu kutelpon balik sebab sebentar lagi aku juga sudah sampai di rumah.

Sepuluh menit kemudian, akhirnya laju mobilku berhenti di depan rumah yang selama ini menjadi tempat bernaungku bersama ibu dan kedua adikku. Terlihat ada yang berbeda, meski sudah jam sepuluh malam, tapi terlihat banyak orang berkerumun di depan rumah. 

Aku lantas turun dari mobil, terlihat beberapa sanak saudara menghampiri dan menggandeng tanganku sambil berkata “Sabar, ya, Za. Ini sudah menjadi takdir Allah.”

Aku semakin bingung dengan perkataan saudaraku tersebut. Sesampainya di depan pintu rumah, terihat kedua adikku bersimpuh serambi menangis sekencang-kencangnya. Di depan mereka terlihat tubuh yang sudah terbungkus kain kaffan. Kakiku melemah, dadaku berdebar hebat, air mataku tumpah. Kulihat wajah Ibuku, mata dan hidungnya tertutup kapas. Tubunya kaku!!!

“Ibu ….!!!”

Kedua kakiku kini benar-benar tak lagi mampu menopang tubuh. Tubuh ini tersungkur tepat di depan jenazah ibu. Air mataku pecah membelah keheningan di dalam dada. Kupanggil-panggil ibuku berulangkali sembari kugoyang-goyangkan tubuhnya yang sudah kaku.

“Bangun, Bu!!! Bangun!!! Ini aku, anakmu. Anakmu sudah pulang, Bu. Bukankah Ibu kangen dengan aku? Bukankah kemarin Ibu ingin aku untuk pulang? Bangun, Bu! Bangun!!!”

Tak henti-hentinya kugoyangkan tububuh ibu, sesekali kuciumi wajanya yang layu. Kedua adikku menghampiri dan memeluk tubuhku erat-erat,
“Sabar, Mas.” Dengan sesenggukan mereka mencoba menegarkanku.

Tapi apa daya, yang ada justru kami bertiga bersimpuh di depan jenazah Ibu, tangis kami semakin menjadi. Aku benar-benar terpukul. Merasa benar-benar menjadi anak yang durhaka, tidak bisa mendampingi Bidadari yang melahirkan dan mendidikku di saat-saat terakhirnya. Bahkan justru sempat kusalahkan dia dan membentaknya dengan kata-kata yang tidak seharusnya dia dapatkan dari anak kandungnya sendiri.

Beberapa bulan terakhir ini ternyata Ibu mengidap sakit kanker. Dia tidak pernah bercerita kepadaku karena tak ingin menggangu pekerjaanku. Waktu dia menelpon dan berkata kangen denganku, dan ingin anaknya pulang ke kampung, saat itu pula dia telah merasa bahwa waktunya hidup di dunia sudah mulai habis. Dia ingin menghabiskan waktu itu denganku, anaknya yang sejak lima tahun terakhir tidak pernah ada di sampingnya. Selama itu pula dia tidak pernah protes sama sekali. Bahkan, setiap uang yang kukirimkan selalu dia sisihkan sebagian. Untuk apa? Untuk membantu menggapai cita-citaku yaitu mendirikan Yayasan Yatim Piatu. Ya, begitu besar kasih-sayangnya selama ini, meski lima tahun anaknya tak pernah menemuinya, dia masih saja berusaha untuk membantu anaknya menggapai cita-cita. Selayak akar yang terus berjuang di tanah yang gersang agar buah tetap tumbuh di pohonnya.

***

Hujan di luar sana masih saja belum reda. Aku masih menatap ke luar jendela. Kali ini, hujan tak hanya turun di luar jendela, tapi juga di dalam jendela tepatnya di mataku sendiri. Sebuah penyesalan terdalam membuat air mata ini tak tertahankan. Aku kehilangan surgaku sesaat setelah aku baru saja menyadari bahwa surga itu tepat berada di depanku, surga itu adalah Ibu. Kini, surga itu benar-benar telah hilang. Selama ini aku berjalan bermil-mil jauhnya untuk mencari surga itu, namun justru ternyata aku mengabaikan surga yang sudah jelas ada di depan mata. Ya, sebelah sayapku telah patah. Masih bisakah aku terbang dengan hanya sebelah sayap untuk menemui surgaku yang telah berada di dalam surga-Nya?

Air mataku jatuh di atas kertas yang sedari tadi kugunakan untuk menuliskan apa yang ingin kusampaikan kepada ibuku di atas sana. Sebuah tulisan yang berisi luapan penyesalan.

//
Surga yang Hilang
Jauh sudah langkah kaki
Berjalan menelusuri laut, hutan, dan gurun
Hingga yang di pelupuk mata menghilang
Sesal kemudian mencari jalan pulang
Terlambat!!!
Terlambat sudah
Tanah kini telah membawanya kembali ke muasal
Menuju tempat
Yang berada di bawah telapak kakinya
Surgaku hilang
Saat aku masih saja berada di depan pintunya
Tanpa pernah kuketuk dan mencoba memasukinya
Surgaku yang hilang
Bersama bidadari yang kuabaikan
Hingga sesal tertuliskan
Di kokohnya batu nisan
Surgaku yang hilang
Akankah aku dapat menemukannya?
Dengan satu sayap yang tersisa?
//


GubukAksara, 15
Kehidupan Tanpa Batas

Duka Negeri

Dhedi R Ghazali | Thursday, July 02, 2015 | 0 komentar

Adalah sebuah fakta jika kita mau membuta mata dan hati kita bahwa negara ini sedang dirundung duka. Berbagai masalah silih berganti menghiasi bumi merah putih ini. Ya, benar jika merah putih menjadi warna dalam negeri. Banjir air mata darah di mana-mana sebab berbagai kepentingan pribadi yang menunggangi percaturan politik. Tak elak, masyarakat menjadi korban dan dijadikan batu loncatan atas apa yang dilakukan oleh para pemimpi(n) kita. Putih tulang yang remuk digilas roda-roda kuasa yang berporos pada sumbu kedzaliman menjadikan setiap keringat yang mengucur tak terbalas dengan semsetinya. Ini adalah beberapa puisi kontemporer yang saya ciptakan dan alhamdulillah masuk dalam sebuah buku antologi. Semoga puisi ini dapat menjadi renungan buat para pemimpi(n) tanah kelahiran kita.


Duka Bangsa

m
e
r

a
h
m
e
r
a
h

merah merah merah merah
merah merah merah merah
putih putih putih putih putih
putih putih putih putih putih
p
u
t
i
h
p
u
t
i
h

BUMI PERTIWI

Gubuk Aksara, 2015

Negeri Kotoran

di negeriku
air kencing direbutkan
kentut dikejar-kejar
berak dilempar-lempar
namanya juga negeri kotoran
semua kotoran menjadi mainan
dimainkan, direbutkan
ujungnya tangis-tangisan
baju-baju kotor setiap hari
emak tak lagi mau mencuci
sebab tak ada air bersih lagi
badan-badan berbau sepanjang waktu
sebab bermain kotoran selalu
mandipun tak ada yang mau
ini negeri kotoran
banyak orang seperti kotoran
saling lapor saling dilaporkan
yang lapor yang beruang
yang beruang yang menang
yang menang yang kejam
yang kejam yang berbintang
yang berbintang yang jalang
yang jalang ya … kotoran
kotoran, oh, kotoran
negeri, oh, negeri
negeriku negeri kotoran
jadinya ya, dibuang-buang
kapan bisa didaur ulang?

GubukAksara, 2015


Pertiwi

pertiwi diciumi
pertiwi dijamahi
pertiwi ditelanjangi
pertiwi dijilati
pertiwi dicabuli
pertiwi hilang suci
pertiwi tak perawan lagi
kasihan pertiwi
siapa pertiwi?
bumi pertiwi

GubukAksara, 2015
Kehidupan Tanpa Batas

Ingat Mati, Ingat Illahi

Dhedi R Ghazali | Tuesday, June 23, 2015 | 0 komentar
Hari ini adalah hari ke-lima di lebaran tahun 2012. Seperti biasa, saat seperti ini adalah saat yang tepat berkunjung ke sanak saudara. Saling mengunjungi untuk bersilaturahmi menjadi sebuah keharusan yang tak bisa dilepaskan.
 
Malam itu, aku dan keluarga besar sedang berkumpul di rumah. Sebuah suasana yang mungkin hanya setahun sekali terjadi. Maklum, beberapa sanak saudara berada di luar kota. Susana kebersamaan begitu kental terasa, hingga tak terasa waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa sudah larut malam.

“Za, besuk ikut ke Temanggung, ya. Silaturahmi ke rumah bulikmu.”

“Iya, paklik. Insyaallah.”

Pagi tiba, azan subuh menggema membangunkan tidurku. Pukul lima pagi, aku dan paklik beserta istrinya bersiap-siap untuk berangkat ke Temanggung. Dengan menggunakan mobil, kami melakukan perjalanan menuju rumah keluarga bulik. Perjalanan yang begitu melelahkan, terlebih lagi beberapa hari ini tenagaku habis untuk berkeliling ke tempat saudara selain itu juga semalam aku tidur terlalu larut malam sebab bercengkerama dengan sanak saudara. Akhirnya, setelah dua jam perjalanan, kami tiba di rumah bulik. Saling bercengkerama dan bercanda membuat kelelahan saat perjalanan perlahan sirna.

***

Matahari mulai condong ke barat. Tak terasa maghrib tiba. Setelah melakukan salat maghrib, kami berpamitan untuk kembali ke Jogja. Tubuh ini begitu lemas, terlebih lagi sedari pagi perut hanya mampu menampung sedikit nasi. Di perjalanan pulang, kepala ini benar-benar terasa pusing. Mukaku mulai pucat, keringat dingin mengalir deras.

“Kamu kenapa, Za? Mukamu pucat.” Tanya bulik kepadaku.

“Kepalaku pusing, Bulik.”

Badan bergetar hebat, rasanya kepala ingin pecah saja. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit. Beberapa menit kemudian, pandanganku mulai kabur, semua remang-remang dan semakin tak terlihat. Gelap! Semua begitu gelap! Aku tak sadarkan diri. Hanya keheningan yang terasa. Tubuhku tak bisa digerakkan.

***

Perlahan kubuka mata. Tubuh rasanya tak berdaya. aku begitu bingung, apa yang sedang terjadi? Di hidung telah menempel selang oksigen, selang infus juga sudah rapi melekat di tangan. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang kuingat hanyalah saat di dalam mobil dan tiba-tiba semua menjadi gelap

“Kamu sudah sadar, Nak?”

“Aku ada di mana, Bu?”

“Kamu di rumah sakit. Tadi kamu pingsan di mobil.”

Beberapa bagian tubuh mati rasa, bahkan tangan kananku tak bisa kugerakkan sama sekali. Ini pertama kalinya kurasakan sakit yang begitu hebat di sekujur tubuh. Tak selang lama, dokter menghampiri dan mengecek keadaanku.

“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya Ayah yang duduk di samping Ibu.

“Baik-baik saja, Pak. Mungkin karena kelelahan. Tadi sudah diambil sampel darahnya, kita tunggu hasil uji laboratoriumnya dulu, baru bisa tahu apa yang menyebabkan anak Bapak pingsan.”

***

Hari berganti. Saat menjelang maghrib, sekitar pukul lima sore, banyak sanak saudara dan tetangga yang berdatangan untuk menjengukku. Rasanya hatiku begitu terenyuh, ternyata masih banya yang perduli padaku. Beberapa teman kuliah dan teman-teman organisasi di desa juga datang. Kedatangan mereka membuatku terharu.

Azan maghrib terdengar. Saat itu juga, tiba-tiba kepalaku seperti ingin pecah. Perutku mual dan ingin muntah tapi tak ada yang dimuntahkan. Rasanya mata ini kembali berkunag-kunang. Napasku mulai tak teratur. Dada  ini tiba-tiba begitu sesak, tubuh pun mulai kejang-kejang. Sakit yang begitu hebat kurasakan di sekujur tubuh.Kupegang erat tangan ibu yang menghampiriku. Aku pun kembali tak sadarkan diri. Hanya tangisan dan jerit yang terdengar tanpa mampu melihat apa yang sedang terjadi. Gaduh! Jerit, tangis dan kepanikan begitu terasa meskipun mata tak mampu melihat apa-apa. Kudengar ibu dan ayah menangis, memanggil-manggil namaku berulang kali.

“Istighfar, Nak.”

Tiba-tiba semua terasa hening. Suasana ini …, membawaku ke dalam ketenangan yang belum pernah kurasakan. Samar-samar terlihat sosok yang tak kukenal dan tak pernah bisa kuingat. Yang masih melekat hanyalah pegangan tangannya yang begitu menyejukkan.

“Apakah aku sudah mati? Ya, Allah, aku masih belum ingin mati. Masih banyak bekal yang harus kukumpulkan untuk mendapatkan surgaMu”

Entah apa yang terjadi, badan tak bisa kugerakkan, mata pun tak bisa dibuka. Begitu tenang! Meskipun begitu, hati dan pikiran masih bisa merasakan ketakutan yang bercampur dengan penyesalan. Penyesalan atas apa yang telah kulakukan selama ini. Suasana ini seolah menyeretku ke dalam ruang perenungan yang begitu dalam. Aku takut! Takut karena merasa masih belum cukup bekal untuk menemui kematian.

Tiba-tiba kurasakan tetesan air di tanganku. Ya, air mata dari ayah dan ibu yang selama ini tak jarang kumarahi juga kusanggah perintahnya.

Samar-samar kudengar ayahku menangis, “Ya Allah, jangan Kau ambil anakku secepat ini.”

Tangis ini rasanya ingin pecah. Aku masih ingin hidup! Badan ini rasanya ingin bergerak dan segera memeluk ayah.

Beberapa saat kemudian, mataku mulai bisa terbuka secara perlahan. Sedikit demi sedikit mulai terlihat sanak saudara yang sudah mengerumuniku dengan mata mereka yang berlinang air mata. Secepat kilat, ayah langsung memeluk dan menciumi wajahku. Tak henti-hentinya kalimat syukur terlontar. Pelukannya begitu terasa nyaman.

“Alhamdulillah, terima kasih Ya, Allah. Engkau telah mendengar doa-doaku.”

Suasana yang tadinya hening berubah menjadi haru. Air mataku berlinang, membasahi pipi. Mulut tak mampu berkata apa-apa, hanya bisa merasakan hangatnya pelukan ayah. Memang selama ini ayahlah yang paling dekat denganku. Meskipun dia mendidikku dengan keras, namun justru itulah yang membuat kami begitu dekat.

***

Peristiwa ini menjadi peristiwa yang tak akan pernah terlupakan. Allah menegurku dengan keras! Seolah Dia ingin mengatakan bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja. Tidak ada patokan umur menyoal kematian, daun muda pun bisa gugur di terpa angin. Semua semakin terasa begitu aneh, karena saat itu dokter tak menemukan penyakit yang parah di tubuhku. Hasil uji laboratorium tidak menemukan keganjilan sedikitpun, semua normal!

Rasa syukur tak henti-hentinya kupanjatkan. Pikiranku melayang-layang di atas langit muhasabah yang cerah. Dalam hati, aku berjanji akan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Selain itu, membahagikan orang tua dan berbakti kepada mereka adalah sebuah keharusan yang tak boleh dilupakan. Terkadang, kita akan merasakan betapa besar kasih sayang orang tua pada saat yang tak pernah kita kira sebelumnya.
 
Semenjak kejadian itu, bayang-bayang kematian sering muncul saat aku sendirian. Saat bayang-bayang kematian itu datang, saat itu pulalah ketakutan menyelimuti. Bukan takut akan kematian, tapi lebih takut dengan apa yang akan kutemui setelah kematian. Semua mahluk hidup pastilah akan mati. Dan kematian bukanlah akhir, tapi sebuah awal dari kehidupan yang abadi. Dengan mengingat kematian, kita akan senantiasa mengingat kebesaran Allah dan mengingat apa yang seharusnya dilakukan di dunia ini. Kita hendaknya berhati-hati dalam menjalani hidup! Selain itu, peristiwa ini membuatku semakin sadar, ternyata sekeras apapun orang tua, mereka tetap menyayangi kita dengan sepenuh hati. Sebagai seorang manusia, kita harus senantiasa bermuhasabah atas apa yang kita lakukan di dunia ini. Meskipun umur tidak bisa dihitung, dan kematian tak bisa diterka kapan datangnya, tidak ada salahnya jika kita senantiasa merenung dan mengukur waktu kita yang setiap hari semakin berkurang. Ya, mengingat mati adalah hal yang akan mengingatkan kita kepada Illahi. Ingatlah! Semua mahluk yang hidup pasti akan menemui kematian dan setelah kematian akan datang kehidupan yang kekal.




GubukAksara, 2015


Kehidupan Tanpa Batas

Malam Tanpa Rembulan

Dhedi R Ghazali | Friday, June 19, 2015 | 0 komentar
malam tanpa rembulan

Hampir setengah tahun terakhir penulis disibukkan dengan kegiatan di dunia nyatanya. Selama itu pula, blog ini tidak terjamah sama sekali sehingga tak ada update artikel ataupun puisi. Akhirnya, detik ini penulis mampu kembali membagikan hasil karyanya. Kali ini, saya akan berbagi sebuah puisi yang saya buat saat berada dalam perjalanan menuju kota Yogyakarta. Di tengah perjalanan, banyak terlihat anak muda yang sedang bercengkerama di pinggir jalan, pedagang asongan. pengamen dan banyak lagi yang lain. Terkadang dari situ saya berpikir, ternyata malam benarlah sebuah waktu yang menyembunyikan banyak pertanyaan. Entah kenapa, terkadang hati dan pikiran ini merasa bahwa banyak orang yang lebih suka dengan gemerlap malam padahal hakikatnya malam adalah waktu untuk beristirahat.

Langsung saja, ini adalah puisi yang berjudul "Malam Tanpa Rembulan"

Malam Tanpa Rembulan

malam ini, langit nestapa
gelayut awan kelam
dihiasi sekumpulan gagak hitam...
berputar-putar di atas tumpukan bangkai busuk

selokan becek berbau anyir darah dan nanah
bau pesing kencing gelandangan
mayat-mayat hidup lalu-lalang di sudut-sudut kota

semua menjadi gelap
ketika angin meniup mati lentera-lentera
dan rembulan pucat pasi bersembunyi
tak ingin menjadi saksi atas apa yang terjadi

malam bersumpah
demi setan yang berwajah manusia
demi rembulan yang ketakutan
demi gemintang yang enggan berkedip
sudahilah!!!
berapa banyak lagi bangkai yang diperlukan
agar tumpukannya mencapai langit yang tujuh?

sang raja menari di atas aurora di langit istananya
menyayikan lagu puji-pujian---entah untuk siapa
bersama selir-selir yang telanjang
sesekali bersulang keringat
yang diperas dari budak-budaknya

malam tanpa rembulan
mematikan telinga!
mematikan mata!
mematikan jiwa!

badut-badut di tepian jalan
menarik perhatian lelaki-lelaki perantau
yang baru saja pulang berlayar mengarungi pulau-pulau
bocah-bocah pemuja aspal
dimabuk aroma lem di genggaman
sebagian riang berdendang
dengan gitar tua di tangan
mereka berkata
"Tuhan, jangan Kau hadirkan siang, biarkan malam tanpa rembulan tak berkesudahan!"

GubukAksara, 2015
Kehidupan Tanpa Batas
 
Support : Copyright © Nov 2010. Kehidupan Tanpa Batas - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger